Banyak jalan menuju Roma. Pribahasa itu juga berlaku di dunia
sepakbola, banyak cara untuk menuju ke
sebuah tempat bernama kesuksesan. Sebut saja Real Madrid yang menganut sistem
membeli bintang sebanyak-banyaknya untuk meraih kejayaan. Barcelona menerapkan
peraturan untuk terus-menerus mengoper bola dan saat bola mereka hilang, mereka
menggelar drama. AC Milan memiliki hobi menjual pemain-pemain bintang mereka
demi menempati papan tengah klasemen Seri A. Selama bertahun-tahun Bayern
Munich sukses dengan kebiasaannya melumpuhkan musuh-musuhnya dengan membeli
pemain bintang klub-klub saingan mereka.
Namun seiring berjalannya waktu dan tuntutan zaman, tak
sedikit klub yang membanting setir demi menculik si piala dan menyekapnya di
balik lemari kaca. Manchester United kini sudah lebih boros dibandingkan
beberapa tahun silam dimana mereka lebih banyak berpikir ketimbang membeli
pemain. Tetangganya Manchester City kini sudah beralih profesi dari berjuang
untuk menghindari degradasi ke perebutan gelar juara. Sedangkan Chelsea yang setiap
tahun dengan gagah berani berjudi di pasar transfer, tetap berjudi. Apalagi musim
ini mereka mendapatkan chip tambahan
dari panitia Liga Champions. Dan perubahan yang paling nyata terjadi di
Perancis. Ibu kota Paris kini sudah tidak lagi dikenal hanya karena tas mahal
yang terbuat dari kulit, melainkan kota dengan klub sepakbola yang kekuatan
finansialnya sanggup menyelamatkan Yunani dari krisis ekonomi, yakni Paris
Saint-German.
Perubahan tampaknya paling sering terjadi pada sebuah klub
yang terdiri dari satu kata, berinisial A, berada di ibukota negara Inggris,
dan tidak pernah menjuarai apapun dalam 7 tahun terakhir. Tepat! Arsenal. Sejak
ditinggalkan perlahan-lahan oleh Patrick Vieira, Dennis Bergkamp, Thierry
Henry, Robert Pires, Freddie Ljungberg, Ashley Cole, Aliaksandr Hleb, Kolo
Toure, Samir Nasri, Gael Clichy, Mathieu Flamini, Cesc Fabregas, Alex Song, dan
terakhir Robin van Persie, Arsenal bagaikan sebuah meriam tua yang karatan dan
sudah tidak bisa digunakan untuk berperang lagi. Klub yang awalnya begitu
disegani di jagad sepakbola Inggris Raya (tak terkalahkan selama 49
pertandingan), beralih menjadi klub pembajak talenta-talenta muda dengan bakat
luar biasa yang terpendam (hanya Arsene Wenger yang bisa melihatnya). Beberapa
tahun kemudian Arsenal banting setir menjadi supplier pemain-pemain berkualitas untuk dua klub besar Barcelona
dan Manchester City. Belakangan Arsenal pindah channel dari siaran kartun untuk anak-anak ke tontonan dewasa yang vulgar.
Tengok beberapa nama-nama yang direkrut Arsenal dalam beberapa tahun terakhir:
Andrey Arshavin, Sebastien Squillaci, Mikel Arteta, Per Mertesacker, Marouane
Chamakh, Gervinho, Andre Santos, Lukas Podolski, Olivier Giroud, dan terakhir
Santi Cazorla. Mereka bukan lagi para remaja yang belum boleh ikut pemilu,
sebaliknya mereka adalah pemain-pemain yang sudah makan banyak asam garam dalam
hal menendang bola. Banyak dari mereka yang bahkan sudah mengecap kesuksesan
bersama klub lamanya, bahkan tak sedikit juga yang lebih sukses sebelum pindah
ke Emirates Stadium.
Arsene Wenger tampaknya kini sudah lebih bisa menerima
kenyataan bahwa aliran yang dianutnya selama ini tidak cukup untuk menghadirkan
sebiji trofi pun di lemari kaca stadium baru mereka. Klub yang dipenuhi oleh
pemain-pemain muda yang segar dan enerjik, memainkan bola layaknya Barcelona,
dan punya neraca keuangan paling bagus di mata para investor ternyata tidak
cukup untuk membuat mereka disebut sebagai juara. Leher Arsene Wenger beserta para
pemainnya tampaknya sudah terlalu haus, bukan terhadap minuman dingin melainkan
sebuah kalung medali. The Professor tampaknya
sudah menutup rangkaian eksperimen-nya selama ini yang tidak membuahkan hasil.
Dia berharap eksperimen terbarunya yakni membawa para pemain dengan segudang
pengalaman dan sukses sehingga dapat menularkannya kepada para pemain lama yang
seakan takut terhadap kilau cahaya yang dipantulkan oleh sebuah piala, layaknya
para vampir.
Apakah kali ini Arsene Wenger mampu menemukan sebuah formula
baru untuk mencapai kesuksesan? Apakah dia dapat membuktikan bahwa pengalaman
lebih penting dari semangat para pemuda? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
2 comments:
Post a Comment